Second Chance & Rahasia | Bab 1: Luka yang Kembali Pulang

Slot Iklan Atas Artikel

sinopsis

Tujuh tahun lalu, dunia Elang hancur tepat di hari yang seharusnya paling bahagia. Senja, wanita yang ia cintai lebih dari dirinya sendiri, pergi tanpa satu kata pun penjelasan di hari pertunangan mereka. Elang ditinggalkan dengan cincin di tangan dan hati yang membeku, berubah dari pemuda hangat menjadi arsitek jenius yang dingin, sinis, dan tidak lagi percaya pada cinta.

Kini, takdir—atau mungkin kesialan—membawa Elang kembali ke Yogyakarta. Ia menerima proyek besar merenovasi perpustakaan tua milik keluarga konglomerat, sebuah proyek yang memaksanya bekerja sama dengan penyedia lansekap taman perpustakaan tersebut: Senja.

Senja yang sekarang berbeda. Ia bukan lagi gadis periang yang Elang kenal, melainkan seorang ibu tunggal (atau wanita karier yang tertutup) yang sorot matanya menyimpan kelelahan mendalam.

Elang melihat ini sebagai kesempatan emas. Bukan untuk kembali, melainkan untuk membalas dendam. Ia ingin menunjukkan kepada Senja betapa sukses dan hebatnya ia tanpa wanita itu. Ia bersikap profesional namun kejam, menuntut kesempurnaan, dan sengaja mengorek luka lama di setiap pertemuan mereka.

Namun, pertahanan Elang goyah saat ia menyadari ada yang tidak beres. Senja sering menghilang di jam-jam tertentu, menerima telepon misterius dengan wajah pucat, dan tampak ketakutan setiap kali nama keluarga Elang disebut.

Di balik sikap diamnya, Senja mati-matian menjaga sebuah rahasia besar. Rahasia bahwa kepergiannya tujuh tahun lalu bukanlah karena ia berhenti mencintai Elang, melainkan karena sebuah ancaman yang membahayakan masa depan Elang. Dan kini, ancaman itu kembali mengintai saat mereka berdekatan.

Ketika rahasia itu perlahan terkuak, Elang dihadapkan pada penyesalan terbesar dalam hidupnya. Ia harus berpacu dengan waktu untuk menebus kesalahannya, sebelum "Rahasia" itu benar-benar merenggut Senja darinya—kali ini untuk selamanya.



Bab 1: Luka yang Kembali Pulang

Yogyakarta sedang terik-teriknya, seolah matahari sengaja membakar kulit siapa pun yang berani menjejakkan kaki di luar ruangan. Namun, bagi Elang, panas ini tidak sebanding dengan api amarah yang perlahan menyala di dadanya begitu mobil hitam mengkilap yang ditumpanginya memasuki pelataran gedung tua itu.

Perpustakaan Grhatama. Gedung warisan kolonial yang sudah separuh hancur dimakan usia. Dindingnya mengelupas, pilar-pilarnya retak, dan halamannya dipenuhi ilalang liar.

Elang merapikan jas mahalnya, lalu melangkah keluar. Sepatu kulitnya menginjak kerikil dengan bunyi krak yang tajam. Di belakangnya, Pak Hadi, kontraktor utama proyek ini, tergopoh-gopoh mengikuti langkah lebar Elang.

"Seperti yang Bapak lihat, struktur utamanya masih kokoh, Pak Elang," ujar Pak Hadi sambil menyeka keringat di dahi. "Hanya bagian sayap barat dan taman belakang yang butuh perombakan total."

Elang tidak menjawab. Matanya yang tajam, terlindung di balik kacamata hitam, menyapu sekeliling. Ia benci tempat ini. Bukan karena kondisinya yang buruk, tapi karena kota ini. Setiap sudut Yogyakarta menyimpan hantu masa lalu yang ia hindari selama tujuh tahun.

"Saya tidak peduli dengan struktur yang sudah ada," suara Elang terdengar datar, dingin, tanpa emosi. "Klien saya ingin tempat ini hidup kembali. Modern, tapi tidak melupakan sejarah. Dan yang paling penting..." Elang berhenti berjalan, menunjuk ke arah taman samping yang berantakan. "...saya tidak mau melihat semak belukar ini saat grand opening bulan depan. Siapa yang bertanggung jawab atas lansekap?"

Pak Hadi buru-buru membuka lembaran berkas di tangannya. "Ah, itu... kami menyewa vendor lokal terbaik. Spesialis restorasi taman klasik. Orangnya sedang di sana, sedang mengukur kadar tanah."

Pak Hadi melambaikan tangan ke arah sosok perempuan yang sedang berjongkok di dekat pohon beringin tua di sudut taman. Perempuan itu mengenakan kemeja flanel lusuh yang kebesaran, celana jeans pudar, dan topi lebar yang menutupi wajahnya.

"Mbak! Mbak Senja! Pak Arsitek sudah datang!" teriak Pak Hadi.

Jantung Elang seolah berhenti berdetak.

Nama itu.

Dunia di sekeliling Elang mendadak senyap. Suara bising lalu lintas di kejauhan lenyap, digantikan oleh dengung menyakitkan di telinganya. Ia menahan napas, matanya terpaku pada sosok perempuan itu.

Perempuan itu membeku sesaat, bahunya menegang, sebelum perlahan berdiri dan memutar tubuh. Ia melepas sarung tangan tanahnya, lalu mendongak. Topi lebarnya sedikit terangkat, memperlihatkan wajah yang selama tujuh tahun ini menghantui setiap mimpi buruk Elang.

Senja.

Wajah itu sedikit lebih tirus dari yang Elang ingat. Ada lingkar hitam samar di bawah matanya, dan kulitnya lebih cokelat karena sering terpapar matahari. Tidak ada lagi kilat jenaka di matanya, hanya kelelahan yang mendalam. Namun, itu tetap Senja. Wanita yang meninggalkannya di altar pertunangan tanpa satu kata pun.

Senja terperangah. Bibirnya yang pucat sedikit terbuka, seolah ingin menyebut nama Elang, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya gemetar hebat, membuat sekop kecil di tangannya jatuh menimpa tanah.

"E-Elang..." bisiknya nyaris tak terdengar.

Pak Hadi, yang tidak menyadari ketegangan di udara, tersenyum ramah. "Nah, Pak Elang, perkenalkan. Ini Ibu Senja, pemilik Senja Florist. Beliau yang akan menangani seluruh area hijau di sini."

Elang tidak bergerak. Ia melepas kacamata hitamnya perlahan, menatap Senja dengan tatapan yang bisa membekukan lahar panas. Tatapan itu bukan tatapan rindu. Itu adalah tatapan seorang pria yang hatinya telah lama mati.

Senja menunduk, tidak berani menatap mata tajam itu. Ia meremas ujung kemejanya dengan gelisah. "Selamat siang, Pak..." suaranya bergetar.

Elang tersenyum miring. Senyum yang tidak mencapai matanya. Ia melangkah maju satu langkah, mengikis jarak di antara mereka, membuat Senja refleks mundur karena takut.

"Pak Hadi," kata Elang tanpa melepaskan pandangannya dari wajah ketakutan Senja. Suaranya tenang, namun tajam mengiris.

"Ya, Pak?"

"Saya minta vendor ini diganti."

Senja tersentak, mendongak kaget. "Elang, tolong... aku butuh pekerj—"

"Anda bicara dengan saya?" potong Elang dingin, memotong kalimat Senja. Ia menatap Senja seolah wanita itu adalah kotoran di sepatunya. "Saya tidak kenal Anda. Saya berbicara masalah profesionalitas. Saya meragukan kompetensi vendor yang bahkan tidak bisa memegang alat kerjanya dengan benar karena tangan yang gemetar."

Pak Hadi tampak bingung. "T-tapi Pak, Bu Senja ini rekomendasinya bagus sekali. Beliau—"

"Saya arsitek kepala di sini, Pak Hadi. Keputusan saya mutlak." Elang berbalik badan, memunggungi Senja. "Cari vendor lain. Saya beri waktu dua hari. Jika tidak, kontrak Anda yang saya putus."

Tanpa menoleh lagi, Elang berjalan cepat kembali ke mobilnya. Namun, di balik dadanya yang bidang, jantungnya berpacu gila-gilaan. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Ia pikir ia sudah melupakan wanita itu. Ia pikir ia sudah sembuh. Tapi melihat Senja berdiri di sana, rapuh dan ketakutan, Elang sadar satu hal: Kebenciannya ternyata sama besarnya dengan rasa cintanya dulu.

Dan ini baru permulaan.

Next Bab
Slot Iklan Bawah Artikel

No comments: