Bab 2: Harga Sebuah Mohon
Debu proyek yang beterbangan terasa mencekik, atau mungkin, rasa sesak itu berasal dari pesan singkat yang baru saja masuk ke ponsel retak milik Senja.
“Bu Senja, administrasi rumah sakit menanyakan pelunasan untuk terapi bulan ini. Stok obat Langit juga sudah menipis. Tolong segera dikabari.”
Pesan dari suster pengasuh itu membuat lutut Senja lemas. Proyek taman perpustakaan ini adalah satu-satunya harapannya. Uang mukanya cukup untuk membayar tagihan rumah sakit dan membeli obat untuk dua bulan ke depan. Jika ia dipecat sekarang—terutama dengan reputasi "dipecat karena tidak kompeten" oleh arsitek terkenal—tidak akan ada vendor lain yang mau memakainya.
Senja menatap mobil SUV hitam Elang yang mesinnya sudah menyala. Pak Hadi terlihat sedang berbicara dengan sopir Elang.
Aku tidak punya pilihan, batin Senja. Demi Langit.
Senja menelan harga dirinya, mengepalkan tangan untuk mengusir gemetar, dan berlari kecil mengejar mobil itu sebelum melaju.
"Tunggu! Pak Elang! Tunggu sebentar!"
Pak Hadi menoleh, wajahnya masam. "Bu Senja, sudah saya bilang, Pak Elang sedang tidak mood. Sebaiknya Ibu pulang, nanti saya coba carikan proyek ke—"
"Tidak bisa, Pak Hadi. Saya harus bicara dengannya sekarang," potong Senja dengan napas memburu.
Tanpa permisi, Senja mengetuk kaca jendela belakang mobil yang gelap itu. "Pak Elang! Tolong turun sebentar. Kita perlu bicara profesional!"
Hening. Kaca itu tidak bergerak turun. Hanya pantulan wajah Senja yang lusuh dan putus asa yang terlihat di sana. Senja tahu Elang bisa melihatnya dari dalam. Pria itu pasti sedang menikmati pemandangan ini—melihat wanita yang dulu mencampakkannya kini mengemis perhatian.
"Elang, kumohon..." bisik Senja, menempelkan dahinya ke kaca yang panas. "Jangan campur adukkan urusan pribadi kita dengan pekerjaan ini. Aku... aku benar-benar butuh pekerjaan ini."
Detik berganti menit. Tepat saat Senja hendak menyerah, pintu mobil terbuka.
Elang turun. Ia sudah melepas jasnya, kini hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan mewah dan urat-urat tangannya yang menonjol. Wajahnya datar, namun matanya menyala dingin.
"Urusan pribadi?" Elang mengulang kata-kata Senja dengan nada mencemooh. Ia bersandar santai di pintu mobil, menatap Senja dari atas ke bawah. "Saya memecat kamu karena kamu tidak kompeten. Tanganmu gemetar, fokusmu hilang. Di mana letak urusan pribadinya?"
"Itu karena aku kaget!" bantah Senja, suaranya serak. "Kamu tahu aku mampu, Elang. Kamu tahu desain tamanku selalu—"
"Aku tidak tahu apa-apa tentangmu lagi," potong Elang tajam. Ia melangkah maju, memaksa Senja mendongak. "Wanita yang dulu aku kenal sudah mati tujuh tahun lalu."
Senja merasakan matanya memanas, tapi ia menahan air matanya sekuat tenaga. Menangis di depan Elang hanya akan memberinya kepuasan.
"Baik. Anggap kita orang asing," kata Senja, suaranya lebih tegas meski hatinya hancur. "Sebagai orang asing, beri saya masa percobaan. Satu minggu. Jika hasil kerja saya tidak memuaskan, Bapak boleh memecat saya tanpa bayaran sepeser pun. Tapi jika bagus, tolong biarkan saya menyelesaikan proyek ini."
Elang terdiam. Ia menatap mata Senja dalam-dalam, mencari kebohongan. Dulu, mata itu selalu berbinar saat melihatnya. Sekarang, mata itu redup, penuh beban, dan... ketakutan?
Ada sesuatu yang mengganjal di hati Elang. Pakaian Senja yang lusuh, ponselnya yang layarnya retak parah, dan keputusasaan yang begitu kental dalam suaranya. Kenapa? batin Elang. Bukankah dia seharusnya bahagia? Bukankah dia meninggalkanku untuk mengejar mimpi atau pria lain yang lebih kaya?
Keingintahuan—dan keinginan jahat untuk melihat wanita ini menderita lebih lama—muncul di benak Elang. Memecatnya sekarang terlalu mudah. Terlalu cepat. Elang ingin tahu apa yang membuat Senja berubah menjadi rongsokan seperti ini.
Elang tersenyum tipis. Senyum yang berbahaya.
"Tanpa bayaran sepeser pun jika gagal?" tanya Elang.
Senja mengangguk cepat. "Ya."
"Baik. Saya terima tawaranmu."
Senja mengembuskan napas lega. "Terima kas—"
"Tapi," sela Elang, mengangkat satu jari. "Saya punya syarat tambahan. Karena kamu sudah membuang waktu saya hari ini, saya mau desain lansekapnya diubah total. Saya mau konsep baru di meja saya besok pagi jam 7. Tidak ada alasan, tidak ada keterlambatan."
Mata Senja membelalak. "Besok pagi? Tapi itu berarti saya harus begadang semalam suntuk untuk merombak—"
"Ambil atau tinggalkan," kata Elang dingin, lalu berbalik badan hendak masuk kembali ke mobil.
"Saya ambil," jawab Senja cepat. Terlalu cepat.
Elang berhenti, menoleh sedikit lewat bahunya. "Bagus. Jangan kecewakan saya... lagi."
Mobil itu melaju pergi, meninggalkan debu yang menyesakkan dada. Senja berdiri terpaku di sana, tubuhnya lemas. Ia mendapatkan pekerjaannya kembali, tapi ia baru saja menjual jiwanya pada iblis dari masa lalunya.
Ponselnya bergetar lagi. Pesan kedua dari suster.
"Langit demam tinggi, Bu. Dia memanggil nama Ibu terus."
Air mata yang sejak tadi ditahan Senja akhirnya jatuh. Ia menghapusnya kasar dengan punggung tangan. Ia tidak punya waktu untuk menangis. Ia harus bekerja.
Next Bab
No comments: