MELODI DI BALIK JERUJI | BAB 1: Sangkar Emas dan Gang Buntu

Slot Iklan Atas Artikel

 



BAB 1: Sangkar Emas dan Gang Buntu

Udara di dalam grand ballroom hotel itu berbau mahal—campuran parfum impor, bunga lili segar, dan kemunafikan.

Elara berdiri kaku di samping ayahnya, Prasetyo, seorang politisi yang senyumnya lebih terang daripada lampu gantung kristal di langit-langit. Tangan ayahnya mencengkeram bahu Elara sedikit terlalu kencang. Bukan rangkulan sayang, melainkan isyarat kepemilikan. Sebuah peringatan tanpa suara: Jangan buat kesalahan. Jangan permalukan aku.

"Dan ini putri saya, Elara," suara bariton ayahnya menggema, memperkenalkan Elara pada seorang pria paruh baya lain dan putranya yang berwajah licin. "Lulusan desain interior dari London. Anak yang penurut."

Penurut. Kata itu terasa seperti kerikil di dalam sepatu. Mengganggu, menusuk, tapi harus ditahan.

Elara memaksakan senyum terbaiknya. Senyum yang sudah ia latih di depan cermin selama bertahun-tahun. "Senang bertemu dengan Anda, Om," ucapnya lembut.

"Cantik sekali," puji rekan ayahnya. "Cocok sekali kalau disandingkan dengan putra saya, Rio."

Tawa sopan meledak di lingkaran kecil itu. Elara merasa mual. Ia butuh udara. Ia butuh keluar dari sangkar emas berpendingin ruangan ini sebelum ia benar-benar meledak dan berteriak di depan para donatur kampanye ayahnya.

"Permisi, Ayah, Om," sela Elara pelan. "Saya perlu ke toilet sebentar."

Ayahnya menatap tajam sekilas, lalu mengangguk pelan. "Jangan lama-lama. Sebentar lagi sesi foto."

Elara mengangguk, lalu berbalik. Ia tidak menuju toilet. Kakinya yang dibalut heels setinggi tujuh sentimeter melangkah cepat melewati koridor, menuju pintu keluar samping yang jarang dijaga.

Begitu pintu berat itu terbuka, udara malam Jakarta yang panas dan lembap langsung menampar wajahnya. Bising klakson dari jalan raya terdengar seperti musik di telinganya.

Elara merogoh tas pestanya yang kecil, mengeluarkan satu-satunya benda yang membuatnya merasa hidup: sebuah kamera saku mirrorless kecil berwarna hitam.

Ia tidak seharusnya berada di luar sendirian dengan gaun sutra seharga puluhan juta ini. Tapi kakinya terus melangkah, menjauhi area lobi hotel yang terang benderang, masuk ke gang-gang belakang di mana bayangan gedung-gedung pencakar langit tidak bisa menutupi kekumuhan kota.

Ia memotret kucing liar yang tidur di atas tumpukan kardus. Klik. Memotret pantulan lampu neon merah dari sebuah warung makan yang hampir tutup. Klik.

Elara begitu asyik dengan dunia di balik lensanya hingga ia tidak sadar langkahnya sudah terlalu jauh. Suara bising jalan raya sudah meredup, digantikan oleh kesunyian gang buntu yang gelap.

"Neng, sendirian aja?"

Suara serak itu membuat Elara membeku.

Ia menurunkan kameranya perlahan. Di depannya, dua orang pria dengan pakaian lusuh dan aroma alkohol yang menyengat berdiri menghalangi jalan.

"Wah, gaunnya bagus. Kameranya juga bagus," kata pria yang satu lagi, matanya menelusuri tubuh Elara dengan tatapan lapar yang membuat bulu kuduk Elara meremang.

Jantung Elara berpacu kencang. Ia mundur selangkah, tapi heels-nya tersangkut di lubang aspal yang rusak. Ia terhuyung. "J-jangan macam-macam. Saya teriak."

"Teriak aja. Nggak ada yang denger, Neng," pria itu tertawa, melangkah maju dan menyambar pergelangan tangan Elara.

"Lepas!" Elara menjerit, mencoba menarik tangannya.

"Sini bagi kameranya!"

Saat Elara memejamkan mata, bersiap untuk hal terburuk, sebuah suara lain terdengar. Suara itu tenang, berat, dan sedingin es.

"Lepasin tangan dia kalau lo masih sayang sama nyawa lo."

Cengkeraman di tangan Elara melonggar. Ia membuka mata.

Di mulut gang, berdiri seorang pemuda. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan wearpack bengkel yang bagian pinggangnya diikatkan ke bawah, menyisakan kaos hitam polos yang kotor oleh oli. Di tangannya, ia memegang sebuah kunci inggris besar seolah itu adalah mainan ringan.

Salah satu preman itu menyipitkan mata, lalu wajahnya memucat. "K-Kai?"

Pemuda bernama Kai itu melangkah maju. Cahaya lampu jalan yang remang menyinari wajahnya. Rahangnya keras, ada bekas luka tipis di alis kirinya, dan tatapan matanya jauh lebih menakutkan daripada kedua preman itu digabung.

"Ini wilayah gue," kata Kai datar. "Kalian bikin ribut di depan bengkel gue. Bubar, atau gue jadiin kepala lo ganjalan ban."

Tanpa menunggu dua kali, kedua preman itu lari terbirit-birit, seolah baru melihat hantu.

Suasana kembali hening. Elara masih gemetar, memeluk kameranya erat-erat di dada. Napasnya tersengal.

Kai tidak langsung mendekat. Ia malah mendengus kasar, lalu menatap Elara dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan meremehkan.

"Lo cari mati?" tanya Kai ketus. "Ngapain putri istana main ke tempat sampah malem-malem gini? Pake baju kayak ondel-ondel lagi."

Elara ternganga. Rasa takutnya perlahan berganti menjadi rasa tersinggung. "A-aku... aku cuma mau memotret."

"Motret?" Kai tertawa sinis. Ia berbalik badan, hendak pergi. "Pulang sana. Sebelum ada yang nyulik lo buat minta tebusan."

Tiba-tiba, langit bergemuruh. Hujan turun deras dalam hitungan detik, seolah langit tumpah ruah.

Elara menjerit kecil, mencoba melindungi kameranya dengan tangan. Ia tidak tahu jalan pulang, tidak bawa payung, dan heels-nya patah.

Kai berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang, melihat gadis bodoh bergaun mahal itu kini basah kuyup seperti tikus kecebur got. Ia mengumpat pelan, lalu berjalan kembali ke arah Elara dengan wajah kesal.

Tanpa permisi, Kai melepas jaket denim lusuh yang tersampir di bahunya, lalu melemparkannya ke kepala Elara.

"Ikut gue," perintahnya, suaranya nyaris kalah oleh suara hujan. "Bengkel gue di situ. Jangan harap gue nganterin lo pulang ujan-ujan gini."

Elara ragu sejenak. Tapi melihat punggung Kai yang lebar menjauh menembus hujan, entah kenapa, ia merasa lebih aman mengikuti pria kasar itu daripada kembali ke hotel mewah ayahnya.

Dengan tertatih-tatih, Elara mengejar langkah Kai.

Slot Iklan Bawah Artikel

No comments: